Dari Penjara Kotak Hijau Ke…

Posted on June 26, 2011

1


By Mariana Widjaja.

National University of Stress. Oops, maksudku National University of Singapore. Beberapa orang tak mau menyekolahkan anaknya di sekolah homogen karena ketakutan-ketakutan tertentu seperti misalnya “Ah, ntar kuper. Gak ada temen lawan jenis.” atau “Jangan deh, nanti gak bisa gaul sama yang lawan jenis.” Bagiku sendiri, aku bangga menjadi alumni sekolah homogen putri (yang punya sebutan tidak resmi sebagai “Penjara Kotak Hijau”) dan menjadi bagian dari generasi wanita unggulan. Meskipun beberapa kenyataan yang kudapat di sekolah ternyata tidak seindah pada kenyataannya di dunia kuliah. Berbeda dengan NTU yang tiap tahunnya menerima siswi SMA Santa Ursula Pos, di NUS rasanya perlu menunggu sekitar tiga tahun untuk mencetak nama jebolan almamaterku itu. Itulah salah satu sebabnya aku senang ke NTU mengunjungi teman-teman satu SMA, karena menjadi seorang single fighter itu memang bukan pengalaman yang terlalu meyenangkan. Meski kamu seorang yang dinilai mandiri dan dewasa sekalipun. Meski kamu sudah bisa pulang pergi sendiri di Jakarta naik kendaraan umum. Biar bagaimanapun, tidak mudah menembus comfort zone orang lain, maupun comfort zone sendiri sebenarnya. Dan lagipula tidak bisa dipungkiri juga kalau tumbuh bersama dalam lingkungan yang sama akan menciptakan “frekuensi” dan “style” tersendiri. Istilahnya: “merasa klik aja”.

Biasanya, mahasiswa internasional akan merasakan sindrom kangen rumah dan atau kangen SMA. Aku mengalami sindrom kangen SMA terlebih dahulu karena jelas aku sendirian di Negeri Singa ini, yang setelah lulus pun akan mengikatku secara tidak langsung selama tiga tahun (lalu hampir pasti berlanjut lebih lama). Hanya saja sindrom-ku ini disertai keharusan untuk beradaptasi akan keadaan yang mungkin tidak serapi dahulu – jika aku tak boleh mengatakannya dengan kata “indah”.

Dulu, aku terbiasa makan bersama dengan banyak teman, duduk meleseh melingkar sembari bertukar cerita. Tapi di NUS, karena perbedaan jadwal masing-masing mahasiswa, semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bukannya mereka yang tak ramah, tapi sulit saja mencari waktu makan bersama. Jadi, ketimbang mengalami pain of rejection, lebih baik makan sendiri. Syukur-syukur secara kebetulan ketemu teman atau kenalan.

Dulu, tiap pagi di tangga sekolah akan ada guru yang berdiri dan menyambut tiap-tiap anak sembari berkata, “Selamat pagi”. Kebiasaan senyum sapa itu juga berlaku sebelum dan sesudah memulai pelajaran atau saat saling berpapasan. Tapi di NUS, ketika aku mengucapkan “Good morning” ke asistem laboratorium Kimia, ia heboh menceritakan ulang di depan mataku kepada kawannya yang juga aslab*, “Wah, this girl says ‘good morning’ a, you hear or not?”

Dulu, setiap kali persiapan acara sekolah, kami terbiasa mengangkat meja, kursi atau barang berat lainnya. Ya, meskipun kami perempuan. Di NUS, sewaktu aku menjadi salah satu anggota logistics officer Matriculation Fair, mengangkat barang berat sedikit saja sudah diminta tukar dengan mahasiswa lain. Kalau aku mengangkat dua kardus, mahasiswa lain akan angkat tiga. Mereka bilang, “Jangan angkat dua lah, kalo loe angkat dua, gue mesti angkat tiga. Masa’ kalah sama cewek?”

Dulu, aku punya sahabat. Yang kumaksud di sini, sungguh-sungguh sahabat dekat. Sekarang, sahabat dekatku di NTU. Yang di NUS adalah teman-temanku, kenalanku, paling banter teman baik. Karena jam kuliah yang berbeda, frekuensi bertemu yang rendah akibat kesibukan pribadi, dan satu dua hal lain, kadar kekentalan persahabatan dengan orang-orang di universitas bakal kalah dengan yang di SMA. Efek domino yang ditimbulkan adalah kesepian. Aku merasa ada yang mendengar ketika menumpahkan isi hati, tapi sebatas itu saja. Tidak ada yang bisa sanggup mengerti dengan hati. Bukankah toh orang yang paling bisa mengerti memang orang yang pernah mengalaminya sendiri? Perasaan senasib sepenanggungan.

Dulu, semuanya serba disiplin. Mau sekolah ya seragam rapi, tidak mengenakan perhiasan, rambut panjang diikat, dan serentetan peraturan menata penampilan lainnya. Di NUS, minimal di fakultasku, mahasiswa bisa kuliah dengan baju santai, masuk pintu depan tanpa rasa bersalah meski terlambat, bolos kuliah tanpa hukuman, pokoknya semua diatur sendiri. Kami dinilai sudah cukup dewasa untuk mengatur diri sendiri.

Hanya saja semua berlalu sangat sederhana sebagai pernak-pernik tahun pertama kuliah. Kupahami banyak yang merasakan hal yang sama namun tak bersuara saja, tak punya sahabat dekat juga di sini. Tapi kenyataannya, sahabat dari SMA pun lama-lama sibuk dengan urusan sendiri (meskipun kami masih sefrekuensi) seperti yang pernah diceritakan senior NUS-ku sebelumnya. Orang-orang yang dulu suka makan bersama juga sekarang mendapat jawaban, “Gue makan nanti, nunggu X (nama pacarnya).” Ya, kehidupan memang dinamis. Hal-hal di sekitar kita datang dan pergi, bergantian tanpa aturan – a random walk. Di dunia ini, memang ada kebiasaan bagaimana pria dan wanita biasanya diperlakukan. Life must go on. Kita tidak bisa keras kepala mempertahankan comfort zone yang sudah ada. Kita manusia, orang-orang yang harus beradaptasi untuk menjawab perubahan lingkungan tanpa melunturkan nilai-nilai yang kita anggap benar. Kalau kita tidak bisa menghadapi tantangan yang diciptakan keadaan, berarti kita yang selesai.

*asisten laboratorium

Posted in: Dear Diary, Lifestyle